Skip to main content

Work from Home? Why Not?

Saat ditanya, "Apa cita-citamu?" dari SD sampai saat ini, saya memiliki jawaban yang terus berubah. Ketika SD dan SMP saya bermimpi menjadi arsitek. Saat duduk di bangku SMA saya bermimpi menjadi penulis/sastrawan. Saat menjalani hidup sebagai mahasiswi, saya bermimpi menjadi dosen/antropolog. Saat sudah bekerja? Saya ingin menjadi pekerja lepas. Ya, pekerja lepas alias freelancer.


Saya merasa dari waktu ke waktu impian saya terbentuk karena adanya perasaan bahwa saya memiliki bakat tertentu pada waktu itu. Misalnya sewaktu SD dan SMP, saya merasa cukup mampu menggambar lalu dengan mudahnya saya menyimpulkan bahwa cita-cita saya adalah arsitek. Saat SMA, saya yang mengambil jurusan IPA pada waktu itu, ternyata justru merasa bakat saya membuat puisi dan kemampuan bahasa lainnya.



Namun dunia sekolah tetaplah dunia sekolah. Kuliah pun saya kategorikan dunia sekolah. Segala idealisme dan impian sangat mudah terucap, tetapi ternyata saya tak punya cukup determinasi untuk mewujudkannya. Syukurlah jika Anda bisa konsisten mewujudkan mimpi dari SD hingga bekerja! Kenyataannya mungkin saya bersama jutaan orang lain yang memiliki impian, tapi berakhir jauh dari mimpi tersebut ketika sudah memasuki dunia kerja.



Terhitung sejak lulus tahun 2013, saya menggunakan waktu untuk bekerja kantoran di perusahaan pertama selama 6 bulan, dan perusahaan kedua selama sekitar 3,5 tahun. Selama bekerja kantoran, cukup banyak suka duka yang saya alami. Ini realita hidup yang hampir setiap orang akan jalani. Dengan bekerja dan harus pergi ke kantor, saya mendapatkan relasi baru, ketrampilan komunikasi dan kepemimpinan juga terasah, dan yang terpenting kemampuan menyelesaikan masalah dengan cepat. Akan tetapi saya banyak merenung, selama 4 tahun saya bekerja, saya lebih banyak mengeluh mengenai pendapatan. Masalah klasik yang dihadapi banyak orang. Perasaan umum bahwa apa yang saya kerjakan tidak berbanding lurus dengan yang saya kerjakan. Perasaan seperti ini sering menjadi bahasan ketika saya berkumpul dengan teman-teman kantor. Tiap kali berkumpul, bahasan kami sangat mainstream yakni kesejateraan pegawai yang tidak bisa terpenuhi.



Menjelang tahun ketiga saya bekerja di perusahaan kedua, saya hamil dan di saat itulah saya kembali merenungkan bahwa waktu saya begitu tersita dengan jam kerja di kantor, dengan perjalanan menuju kantor dan semua kemacetan ibukota, dan yang terpenting adalah bahwa tidak adanya kepastian bahwa saya akan mendapat tambahan gaji sementara biaya hidup makin tinggi setelah kelahiran anak.

Keputusan untuk mengundurkan diri dari perusahaan akhirnya saya ambil dengan berbagai pertimbangan. Saya sempat merasakan dua bulan jarak jauh dengan buah hati dan hampir tidak mungkin membawa buah hati saya untuk hidup di Jakarta. Sungguh sebenarnya saya menghargai Jakarta sebagai kota yang sangat kompetitif untuk berjuang urusan karir, tetapi saya memilih untuk meninggalkan hiruk pikuk di sana.

Satu yang terbersit di pikiran saya untuk rencana setelah mengundurkan diri: kerja lepas alias freelance. Sebenarnya setelah hengkang dari perusahaan, saya merencanakan banyak hal, tetapi yang paling nyata bisa saya lakukan adalah menjadi freelancer dahulu. Pasti ada kekurangan dan kelebihan menjadi freelancer, seperti halnya kerja kantoran. Semuanya tinggal dibalik saja. Bekerja lepas berarti saya harus siap sarana dan prasarana kerja di rumah. Saya juga tidak akan mendapat keuntungan seperti asuransi, bonus, dll. Pastinya saya akan merindukan bersosialisasi dengan teman-teman kantor karena menghabiskan waktu banyak di rumah ataupun tempat tertentu sekali waktu.

Akan tetapi saya merasa siap dengan pekerjaan ini. Saya banyak melihat bahwa bekerja dari rumah sudah banyak dilakukan orang-orang di luar negeri terutama untuk membagi waktu dengan keluarga mereka. Hal yang terpenting adalah bahwa saya mengambil keputusan ini juga karena saya sering mengeluh dengan aturan perusahaan yang mengikat sementara saya terbatas gaji yang susah naik. Saya berpikir, jika saya pindah perusahaan, mungkin saya akan mengalami hal yang sama lagi dan akan mengeluh lagi. Jadi, saya memilih menjadi freelancer dengan gaji yang harus saya atur sendiri, dan aturan kerja yang saya buat sendiri. Semakin saya rajin maka semakin banyak yang saya terima, vice versa. Untuk aturan, saya hanya terikat kontrak saja, selebihnya untuk jam kerja, saya yang harus atur.

Inilah impian pekerjaan saya di jaman milenial ini. Saya butuh fleksibilitas tinggi tetapi juga harus mengimbangi dengan disiplin diri yang tinggi. Dengan begini, saya harap waktu bersama keluarga terus ada sembari terus bekerja keras.



Comments

Popular posts from this blog

Menjadi Pribadi yang Merdeka Secara Emosional

  Bab buku-buku dan video yang saya renungkan awal pekan ini secara serempak mengarah pada tema "mengampuni dan membebaskan diri dari ikatan emosional". Menjadi pribadi yang merdeka. Inner peace. Mungkin kebetulan, mungkin algoritma. Entahlah. Renungan ini saya bagikan karena dengan berbagi, saya menerima lebih banyak untuk pertumbuhan saya sendiri.   Kita acapkali terjebak dalam dalam ikatan syarat "jika".    Aku bahagia jika anakku bisa bermain musik.  Aku senang jika rumahku rapi dan bersih.  Aku merasa cukup jika gajiku cukup untuk mencukupi kebutuhanku.   Tanpa sadar, jika kondisi di belakang kata "jika" tidak terpenuhi, yang terjadi adalah negasi dari luapan sukacita tadi.   Suamiku tidak mendukungku, aku tidak bahagia. Anakku tidak diterima di PTN terbaik, aku kecewa berat. Dia tidak mengikuti aturan yang sudah kubuat, aku sangat kesal.   Sukacita kita terikat syarat. Ini berdampak pada inner peace kita se...

Administrasi Perkawinan Katolik: Kursus Persiapan Perkawinan

Berbicara tentang persiapan pernikahan, satu kata yang mungkin bisa saya gambarkan: ribet. Banyak hal yang harus dilalui ketika sepasang kekasih berpacaran tetapi ketika sudah masuk masa persiapan pernikahan, perdebatan, yang mungkin biasanya hanya beberapa kali saja sebulan, bisa terjadi hampir setiap hari. Tetapi nantinya ini akan berujung kebahagiaan jadinya dijalani saja. Banyak berdoa saja jika Anda percaya kepada Tuhan. Jika Anda bukan seorang agamis atau percaya pada hal-hal ketuhanan, mungkin bisa dengan meditasi saja atau kegiatan apapun yang memungkinkan Anda bisa meraih ketenangan. Di sini saya akan berbagi pengalaman saya mempersiapkan pernikahan secara Katolik. Saya membuat tulisan ini bukan hanya untuk berbagi tetapi juga ingin berterima kasih kepada tulisan-tulisan di blog yang sempat saya baca dan membantu dalam persiapan ini. Tidak lupa saya ingatkan kepada pembaca, apapun yang saya tulis di sini merupakan pengalaman saya pribadi jadi silakan untuk bijak menga...