Bab buku-buku dan video yang saya renungkan awal pekan ini secara serempak mengarah pada tema "mengampuni dan membebaskan diri dari ikatan emosional". Menjadi pribadi yang merdeka. Inner peace. Mungkin kebetulan, mungkin algoritma. Entahlah.
Renungan ini saya bagikan karena dengan berbagi, saya
menerima lebih banyak untuk pertumbuhan saya sendiri.
Kita acapkali terjebak dalam dalam ikatan syarat
"jika".
Aku bahagia jika anakku bisa bermain musik.
Aku senang jika rumahku rapi dan bersih.
Aku merasa cukup jika gajiku cukup untuk
mencukupi kebutuhanku.
Tanpa sadar, jika kondisi di belakang kata
"jika" tidak terpenuhi, yang terjadi adalah negasi dari luapan
sukacita tadi.
Suamiku
tidak mendukungku, aku tidak bahagia.
Anakku
tidak diterima di PTN terbaik, aku kecewa berat.
Dia
tidak mengikuti aturan yang sudah kubuat, aku sangat kesal.
Sukacita kita terikat syarat. Ini berdampak pada inner
peace kita sendiri karena kedamaian kita akan selalu dipengaruhi orang lain dan
situasi di luar kita.
Kita telah terlalu sering menyerahkan kebebasan
emosional kita pada orang lain atau sesuatu di luar diri kita. Ini bukan
tentang bersyukur, tapi merebut kembali kemerdekaan diri kita.
Dia
terus-terusan mengomentari pekerjaanku, tapi aku bebas untuk tidak merasa marah
karena aku bekerja bukan untuk mencari pujiannya.
Aku
gagal mendapatkan proyek itu karena kalah cepat, aku tidak akan kecewa karena
aku tidak akan meratapi apa yang bukan rezekiku.
Aku
tidak bisa berjualan hari ini karena sakit, aku tidak akan kesal karena tubuhku
membutuhkan istirahat untuk hari-hari lain yang akan lebih baik lagi.
Setidaknya jika kita bukan pengejar kedamaian, kita
bisa merebut kebebasan untuk tidak merasa apa-apa. Lalu apa kaitannya dengan mengampuni?
Sama halnya terbebas dari ikatan emosional di masa baru-baru ini, mengampuni
adalah terbebas dari ikatan emosional dari masa-masa yang lebih lampau. Kita
akan marah dan dendam mengingat peristiwa dulu, perbuatan buruk orang. Kita
akan sinis apa pun usaha atau perbuatan baik orang. Tanpa meremehkan betapa
menyebalkan dan getirnya semua itu, kebebasan emosional kita sekarang jauh
lebih berharga.
Jika kita fokus pada sebab-akibat, trauma-dampak, maka
kita memberi nama sesuatu yang sudah menjadi memori dan itu justru
menghidupkannya, jauh lebih hidup daripada dunia kita sekarang. Kabar baiknya,
seperti di film-film horor pengusiran setan, jika sang pengusir hendak mengusir
setan, dia akan memanggil namanya, lalu menghalaunya pergi, "I condemn you
back to hell!" Jika kita sudah telanjur terjebak memberinya nama
"trauma", maka kita masih bisa menghalaunya pergi.
Akhirnya, sekali lagi ini bukan tentang bersyukur, tapi membebaskan diri dari sesuatu yang mengikat kita secara emosional. Waktu setiap orang pun berbeda, terkadang kita membaca, berguru, berbagi dengan orang, tapi masih belum mendapat pencerahan. Atau kita telah tercerahkan, tapi belum sanggup menerapkannya. Pelan-pelan saja. Tenang, banyak teman seperjalanan. :) Kebiasaan tidak dibangun dalam sehari. Perubahan besar dimulai dari kebiasaan kecil.
Kemarin aku
pintar, aku ingin mengubah dunia.
Hari ini aku
bijaksana, aku akan mengubah diri sendiri.
Saya berutang budi pada gagasan orang-orang yang membantu saya secara pribadi serta buku-buku berikut ini:
In My Own Words (Padre Pio)
Living in the Beautiful State of Life 1 (Rm. Antonius Rajabana, OMI) serta video-video beliau
Berani Tidak Disukai (Ichiro Kishimi & Fumitake Koga)
The Things You Can See Only When You Slow Down (Haemin Sunim)
Atomic Habits (James Clear)
Mungkin masih banyak yang belum saya sebutkan, tapi saya berterima kasih atas semua orang itu.
Comments
Post a Comment