Kata penantian memiliki beragam makna untuk setiap orang. Mereka yang pernah merasakannya akan mendefinisikannya berbeda-beda namun tetap mengacu pada suatu keadaan menunggu dan berharap. Penantian sangat lekat dengan munculnya rasa cemas, tidak sabar, dan penasaran. Dan pada akhirnya yang dinanti bisa memberi suatu kesedihan atau kebahagiaan.
Aku telah memutuskan untuk kembali pulang mempersiapkan kelahiran anakku. Aku tahu betul bahwa taksiran kelahirannya masih 12 Mei, sehingga mungkin lebih banyak waktu yang 'terbuang' untuk penantian. Tiga bulan cuti melahirkan sengaja kuambil April, Mei, Juni, entah keputusanku begitu bulat dan aku selalu pasrah jika Tuhan memiliki kehendak lain. Namun rasanya rencanaku cuti ini selaras dengan kehendak-Nya. Di samping itu, demi alasan penghematan biaya serta mental yang lebih tertata, aku mantap dengan semua ini.
Meski aku mantap dengan segala keputusanku namun aku juga merasakan penantian yang agak menyiksa. Harapanku anakku lahir di bulan April sungguh besar, entah kenapa. Selain itu, semakin lama menanti ternyata semakin gelisah dan takut diriku. Dari cemas dan takut akan rasa sakit melahirkan, takut tubuh ini semakin gemuk, hingga takut akan melahirkan secara caesar, sangat menghiasi penantianku.
Tiap malam kuajak bicara anakku agar dia lekas keluar. Aku bawa sepasang bajunya dan kubawa tidur dengan harapan dia mengerti ibunya. Ketika masuk minggu ke-37, perasaanku semakin tak menentu karena di minggu ini, bayi sudah ideal untuk lahir ke dunia. Setiap hari kunanti agar dia tak sampai harus menunggu 12 Mei. Hasil USG terakhir pun kadang semakin membuat cemas diriku karena presentasi wajahnya defleksi (dongak) sehingga sulit turun panggul meski posisi kepala sudah di bawah. Dokter pun memberi aba-aba untuk siap caesar jika posisinya masih tidak ideal sampai waktu melahirkan. Sebagai seseorang yang berharap untuk bisa melahirkan normal tentu saja aba-aba tersebut semakin membuat galau. Dengan segala rasa cemas, aku menunggu sampai saatnya tiba.
Meski aku mantap dengan segala keputusanku namun aku juga merasakan penantian yang agak menyiksa. Harapanku anakku lahir di bulan April sungguh besar, entah kenapa. Selain itu, semakin lama menanti ternyata semakin gelisah dan takut diriku. Dari cemas dan takut akan rasa sakit melahirkan, takut tubuh ini semakin gemuk, hingga takut akan melahirkan secara caesar, sangat menghiasi penantianku.
Tiap malam kuajak bicara anakku agar dia lekas keluar. Aku bawa sepasang bajunya dan kubawa tidur dengan harapan dia mengerti ibunya. Ketika masuk minggu ke-37, perasaanku semakin tak menentu karena di minggu ini, bayi sudah ideal untuk lahir ke dunia. Setiap hari kunanti agar dia tak sampai harus menunggu 12 Mei. Hasil USG terakhir pun kadang semakin membuat cemas diriku karena presentasi wajahnya defleksi (dongak) sehingga sulit turun panggul meski posisi kepala sudah di bawah. Dokter pun memberi aba-aba untuk siap caesar jika posisinya masih tidak ideal sampai waktu melahirkan. Sebagai seseorang yang berharap untuk bisa melahirkan normal tentu saja aba-aba tersebut semakin membuat galau. Dengan segala rasa cemas, aku menunggu sampai saatnya tiba.
Hari Jumat, Bapak tiba-tiba mengajakku ke Candi Gedongsongo, Bandungan. Aku begitu bersemangat dan rasanya ingin segera mendaki ke-9 candinya dengan harapan bisa langsung merasakan kontraksi. Ketika berada di sana justru orang-orang melihatku seperti heran ada wanita hamil besar pergi ke Candi Gedongsongo.
Harapan untuk bisa mendaki sampai candi ke-9 sirna karena Ibuku tidak mengizinkan, jadi aku hanya sampai candi pertama saja.
Esok paginya, aku masih jalan-jalan keliling rumah supaya lekas merasakan kontraksi. Namun karena begitu putus asanya bisa melahirkan di bulan April, aku chatting dengan suami untuk mengatakan bahwa anak kami nanti nama tengahnya akan Mei, bukan April. Suamiku heran dan bertanya mengapa aku sebegitu yakinnya jika anakku akan lahir di bulan Mei padahal April belum berakhir. Kukatakan kepadanya bahwa sudah tinggal 1 hari lagi tapi dia belum lahir-lahir maka aku putus asa.
Namun memang Tuhan yang memiliki rencana, Sabtu malam aku sudah mulai merasakan kontraksi. Tadinya aku masih belum percaya karena aku tidak mengeluarkan lendir seperti yang banyak dikatakan teman-teman yang sudah melahirkan. Sampai menjelang pukul 12 dini hari, aku ternyata sudah pembukaan 2. Lalu pukul 3 ibuku memeriksa lagi dan sudah pembukaan 4. Sangat disayangkan ternyata posisi kepala masih tinggi, jadi ibuku memilih membawaku ke rumah sakit.
Sampai di sana sekitar pukul 4 setelah semua administrasi selesai, aku dicek lagi ternyata sudah pembukaan 6. Waktu terasa begitu cepat karena aku fokus dengan rasa sakit pembukaan. Sakitnya sungguh luar biasa yang pada akhirnya kusadari memang sakit karena pembukaan jauh lebih hebat dibanding ketika si Bayi keluar dari vagina.
Sekitar pukul 6 kurang 15 menit, air ketuban pecah dan semua berjalan begitu cepat. Bidan yang bertugas mengatakan bahwa aku masih bisa diusahakan normal jadi tidak perlu tindakan oleh dokter. Sehingga selama kurang lebih 45 menit aku berjuang melahirkan anakku. Para bidan yang bertugas membantuku dan bahkan Ibuku sendiri ikut menyemangatiku agar anakku lekas keluar.
Tepat pukul 6:40 tangis anakku pecah di ruangan karena hanya aku yang saat itu melahirkan. Dia langsung ditaruh di dadaku untuk prosedur IMD (Inisiasi Menyusu Dini) sebentar dan dibersihkan. Tak lama setelah itu aku menjalani proses penjahitan yang kurasa aku sudah pasrah dan lega sampai tidak terlalu kurasa sakit. Puji syukur kepada Tuhan, anakku yang cantik lahir.
Comments
Post a Comment